hukum
ditinjau dari perspektif olahraga
Diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sosiologi Olahraga
Makalah
Disusun
oleh :
Kelompok
2 / 7E
1.
Siti
Maryam
2.
Popon
Supriatin
3.
Setiawan
4.
Andi
Suhandi
5.
Azis
Wikarto
6.
Indra
Mustika . R
PROGRAM
STUDI PJKR
(STKIP)
SEBELAS APRIL SUMEDANG
S
U M E D A N G
2
0 1 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hukum merupakan suatu hal
yang tidak bisa dilepaskan dari hal apapun
termasuk dalam hal olahraga. Apalagi bahwa Indonesia adalah Negara hukum
jelas bahwa hukum memiliki peranan penting. Seperti kasus Nova Zaenal dan Bernard Mamadou,
mungkin mereka tak pernah menyangka kalau perkelahian mereka akan menyeret
keduanya ke meja hijau. Nova dan Mamadou, secara terpisah, didakwa melanggar
Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan di Pengadilan Negeri Solo, Agustus 2009.
Akhir Januari 2010 lalu jaksa menuntut keduanya hukuman penjara enam bulan dengan
masa percobaan satu tahun.
Sekilas memang tak ada yang aneh
dalam kasus Nova dan Mamadou di atas. Para pelanggar hukum memang harus
diadili. Namun, persoalan akan muncul ketika diketahui fakta bahwa Nova dan
Mamadou berkelahi di lapangan sepak bola.
Nova dan Mamadou bukan sekedar
pemuda biasa yang berkelahi di lapangan karena berebut sesuatu atau hanya
karena salah paham. Keduanya adalah pesepakbola profesional. Nova adalah
pesepakbola profesional Indonesia yang bermain untuk Persis Solo. Sementara
Mamadou adalah pemain klub Gresik United asal Liberia.
Perkelahian Nova dan Mamadou terjadi
setahun lalu, Februari 2009. Kala itu, Persis Solo sebagai tuan rumah dan
menjamu Gresik United. Di pertengahan pertandingan, Nova memprotes tindakan
Mamadou yang dianggap tidak fair karena tak membuang bola keluar
lapangan saat ada pemain Persis yang cidera. Adu tarik urat leher terjadi
antara Nova-Mamadou. Ujungnya, Mamadau memukul pelipis Nova. Tak terima, Nova
mengejar dan balas memukul perut Mamadau. Usai pertandingan, polisi menciduk
Nova-Mamadu. Bahkan keduanya sempat ditahan. Namun belakangan polisi
menangguhkan penahanan keduanya.
Banyak kasus hukum yang terjadi
lainnya yang kadang memunculkan permasalahan tersendiri antara hukum nasional
dan hukum olahraga. Diperlukan batasan yang jelas dalam penyelsaian.
Bertolak dari pemikiran tersebut
maka, penulis memberikan judul HUKUM
DITINJAU DARI PERSPEKSTIF OLAHRAGA.
1.2
Rumusan Masalah
Karena begitu luasnya
pembahasan mengenai hukum olahraga, maka pembahasan pun dibatasi dengan rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Apa
yang dimaksud dengan hukum?
2.
Bagaimana
hubungan hukum dengan keolahragaan?
3.
Bagaimana
penggunaan hukum yang positif dalam pengembangan keolahragaan?
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
dan manfaat dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Mengetahui
pengertian dari dari hukum
2.
Mengetahui
hubungan hukum dengan keolahragaan
3.
Mengetahui
penggunaan hukum yang positif dalam pengembangan keolahragaan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hukum
1. Pengertian
hukum
Ada beberapa pengertian hukum
menurut beberapa ahli:
a.
Plato,
dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang
teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
b.
Aristoteles,
hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat
tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan
isi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam
melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah.
c.
Austin,
hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada
makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya
(Friedmann, 1993: 149).
d.
Bellfoid,
hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat itu
didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat.
e.
Mr.
E.M. Mayers, hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan
ditinjau kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman
penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
f.
Duguit,
hukum adalah tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya
penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai
jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu.
g.
Immanuel
Kant, hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari
orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain
memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan.
h.
Van
Kant, hukum adalah serumpun peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang
diadakan untuk mengatur melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.
i.
Van
Apeldoorn, hukum adalah gejala sosial tidak ada masyarakat yang tidak mengenal
hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek kebudayaan yaitu agama, kesusilaan,
adat istiadat, dan kebiasaan.
j.
S.M.
Amir, S.H.: hukum adalah peraturan, kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri
dari norma-norma dan sanksi-sanksi.
k.
E.
Utrecht, menyebutkan: hukum adalah himpunan petunjuk hidup –perintah dan
larangan– yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya
ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena itu
pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah
atau penguasa itu.
l.
M.H.
Tirtaamidjata, S.H., bahwa hukum adalah semua aturan (norma) yang harus
dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan
ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan
membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan
kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.
m.
J.T.C.
Sumorangkir, S.H. dan Woerjo Sastropranoto, S.H. bahwa hukum itu ialah
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia
dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib,
pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya
tindakan, yaitu dengan hukuman.
n.
Soerojo
Wignjodipoero, S.H. hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang
bersifat memaksa, berisikan suatu perintah larangan atau izin untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu atau dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam
kehidupan masyarakat.
o.
Dr.
Soejono Dirdjosisworo, S.H. menyebutkan aneka arti hukum yang meliputi: (1)
hukum dalam arti ketentuan penguasa (undang-udang, keputusan hakim dan
sebagainya), (2) hukum dalam arti petugas-petugas-nya (penegak hukum), (3)
hukum dalam arti sikap tindak, (4) hukum dalam arti sistem kaidah, (5) hukum
dalam arti jalinan nilai (tujuan hukum), (6) hukum dalam arti tata hukum, (7)
hukum dalam arti ilmu hukum, (8) hukum dalam arti disiplin hukum.
p.
Dr.
Soerjono Soekanto, S.H., M.A., dan Purnadi Purbacaraka, S.H. menyebutkan arti
yang diberikan masyarakat pada hukum sebagai berikut:
1)
Hukum
sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis
atas dasar kekuatan pemikiran.
2)
Hukum
sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau
gejala-gejala yang dihadapi.
3)
Hukum
sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang
pantas atau diharapkan.
4)
Hukum
sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum
yang berlaku pada suatu waktu.
5)
Hukum
sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan
erat dengan penegakan hukum.
6)
Hukum
sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut
keputusan penguasa.
7)
Hukum
sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal-balik antara
unsur-unsur pokok sistem kenegaraan.
8)
Hukum
sebagai sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yaitu perikelakuan
yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai
kedamaian.
9)
Hukum
sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan-jalinan dari konsepsi-konsepsi
abstrak tentang apa yang siagap baik dan buruk.
q.
Otje
Salman, S.H.: dilihat dari kenyataan sehari-hari di lingkungan masyarakat
mengartikan atau memberi arti pada hukum terlepas dar apakah itu benar atau
keliru, sebagai berikut:
1)
Hukum
sebagai ilmu pengetahuan, diberikan oleh kalangan ilmuan.
2)
Hukum
sebagai disiplin, diberikan oleh filosof, teoritis dan politisi (politik
hukum).
3)
Hukum
sebagai kaidah, diberikan oleh filosof, orang yang bijaksana.
4)
Hukum
sebagai Lembaga Sosial, diberika oleh filosof, ahli Sosiaologi Hukum.
5)
Hukum
sebagai tata hukum, diberikan oleh DPR. Dan eksekutif (di Indonesia).
6)
Hukum
sebagai petugas, diberikan oleh tukang beca, pedagang kaki lima.
7)
Hukum
sebagai keputusan penguasa, diberikan oleh atasan dan bawahan dalam suatu
Instansi atau lembaga negara.
8)
Hukum
sebagai proses pemerintah, diberika oleh anggota dan pimpinan eksekutif.
9)
Hukum
sebagai sarana sistem pengandalian sosial, diberikan oleh para pembentuk dan
pelaksana hukum.
10)
Hukum
sebagai sikap tindak atau perikelakuan ajeg, diberikan oleh anggota dan pemuka
masyarakat.
11)
Hukum
sebagai nilai-nilai diberikan oleh filosof, teorotis (ahli yurisprudence).
12)
Hukum
sebagai seni, diberikan oleh mereka yang peka terhadap lingkungannya; ahli karikatur.
2.
Aliran
– aliran dalam filsafat hukum
Timbulnya
berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukan pergulatan pemikiran yang tidak
henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Apabila pada masa lalu, filsafat
hukum merupakan produk sampingan dari para filsuf, dewasa ini kedudukannya
tidak lagi demikian karena masalah-masalah filsafat hukum telah menjadi bahan
kajian tersendiri bagi para ahli hukum.
a.
Aliran hukum alam
Menurut
sumbernya, aliran hukum alam dapat dibagi dua macam yaitu: Irasional dan Rasional.
Aliran hukum yang irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan
abadi itu bersumber dari tuhan secara langsung. Sebaliknya, aliran hukum alam
yang rasional berpendapat bahwa sumber hukum yang universal dan abadi itu
adalah rasio manusia. Pendukung aliran hukum alam irasional antara lain:
1)
Thomas Aquinas (1225-1274): yang mengatakan ada 4 macam hukum yaitu:
a)
lex
aeterna (hukum rasio tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera
manusia)
b)
lex
devina (hukum rasio tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia)
c)
lex
naturalis (hukum alam yaitu penjelmaan dari lex aeterna kedalam rasio manusia)
d)
lex
positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia didunia)
2)
John Salisbury (1115-1180): menurutnya
jika kalau masing-masing penduduk berkerja untuk kepentingan sendiri,
kepentingan masyarakat akan terpenuhi dengan sebaik-baiknya.
3)
Dante Alighieri (1265-1321): menurutnya,
badan tertinggi yang memperoleh legitimasi dari tuhan sebagai monarki dunia ini
adalah kekaisaran romawi.
4)
Piere Dubois (lahir 1255): ia menyatakan
bahwa penguasa dapat langsung menerima kekuasaan dari tuhan tanpa perlu
melewati pimpinan gereja.
5)
Marsilius padua (1270-1340) dan William
Occam (1280-1317): padua berpendapat bahwa Negara berada diatas kekuasaan paus.
Kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat. Dan occam berpendapat rasio manusia
tidak dapat memastikan suatu kebenaran.
6)
John Wycliffe (1320-1384) dan johnannea
Huss (1369-1415): Wycliffe berpendapat kekuasaan ketuhanan tidak perlu melalui
perantara, sehingga baik para rohaniawan maupun orang awam sama derajatnya
dimata tuhan. Dan huss mengatakan bahwa gereja tidak perlu memiliki hak milik.
b.
Positivisme hukum
Positivisme
hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu secara tegas memisahkan antara
hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen). Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak
yaitu:
1)
Aliran hukum positif analistis: John
Austin (1790-1859)
Hukum
adalah perintah dari penguasa Negara. Dan menurutnya hukum dipandang sebagai
suatu system yang tetap, logis, dan tertutup. Hukum yang sebenarnya memiliki
empat unsur yaitu: perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban (duty), kedaulatan
(sovereignty).
2)
Aliran hukum murni: Hans Kelsen
(1881-1973)
Menurut
Kelsen, harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis, seperti unsure
sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal
dengan teori hukum murni. Baginya hukum adalah suatu keharusan yang mengatur
tingkah laku manusia sbagai mahluk rasional.
c.
Utilitaianisme
Utilitaianisme
atau Utilisme adalah aliran yang meletakan kemanfaatkan sebagai tujuan utama
hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Aliran ini
sesungguhnya dapat pula dimasukan kedalam Positivisme Hukum, mengingat faham
ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan tujun hukum adalahmenciptakan
ketertiban masyarakat. Pendukung Utilitarianisme yang paling penting yaitu:
1)
Jeremy Bentham (1748-1832): ia
berpendapat bahwa alam memberikan kebahagian dan kesusahan. Manusia selalu
berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahan. Kabaikan adalah
kebahagian, dan kejahatan adalah kesusahan.
2)
Jhon Stuar Mill (1806-1873): ia
menyatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh
kebahagiaan itu melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Jadi yang ingin
dicapai oleh manusia bukan benda atau sesuatu hal tertentu, melainkan
kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya.
3)
Rudolf von Jhering (1818-1892): baginya
tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam
mendefinisikan “kepentingan” ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai
pengejaran kesenagan dan menghindari penderitaan.
d.
Mazhab sejarah
Tokoh-tokoh
penting mazhab sejarah yaitu:
1)
Friedrich Karl von savigny (1770-1861):
menurutnya hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan,
tetapi karena perasaan keadilan yang terletak dalam jiwa bangsa itu.
2)
Puchta (1798-1846): sama dengan savigny,
ia berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa yang bersangkutan.
3)
Henry Summer Maine (1822-1888): ia
melakukan penelitian untuk memperkuat pemikiran von Savigny, yang membuktikan
adanya pola evolusi pada pembagi masyarakat dalam situasi sejarahyang sama.
e.
Sociological jurisprudence
Menurut
aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang abik haruslah hukum yang
sesuai dengan yang hidup di masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas
antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Tokoh-tokoh
aliran Sociological Jurisprudence antara lain adalah:
1)
Eugen Ehrlich (1862-1922): ia
beranggapan bahwa hukum tunduk pada ketentuan-ketentuan social tertentu. Hukum
tidak mungkin efektif, oleh karena ketertiban dalam masyarakat didasarkan
pengakuan sosial terhadap hukum, dan bukan karena penerapannya secara resmi
oleh Negara.
2)
Roscoe Pound (1870-1964): dengan
teorinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat
(law as a tool of social engineering).
f.
Realisme hukum
Dalam
pandangan penganut Realisme, hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial
dan control social. Beberapa cirri realisme yang terpenting diantaranya:
1)
Tidak ada mazhab realis; realisme adalah
gerakan dari pemikiran dan kerja tangan hukum.
2)
Realisme adalah konsepsi hukumyang terus
berubah dan alat untuk tujuan-tujuan social, sehingga tiap bagian hrus diuji
tujuan dan akibatnya.
3)
Realisme menganggap adanya pemisahan
sementara antara hukum yang ada dan harusnya ada, untuk tujuan-tujuan studi.
4)
Realisme tidak percaya pada
ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum, sepanjang ketentuan-ketentuan
dan konsepsi hukum menggambarkan apa yang sebebarnya dilakukan oleh
pengadilan-pengadilan dan orang-orang.
5)
Realisme menekankan evolusi tiap bagian
hukum dengan mengingatkan akibatnya.
Sebenranya
realime sebagai suatu gerakan dapat dibedakan dalam dua kelompok yaitu Realisme
Amerika dan Realisme Skandinavia. Menurut Friedmann, persamaan Realisme
Skandinavia dengan Realisme Amerika adalah semata-mata verbal.
Ø Realisme
Amerika
Sumber
hukum utama aliran ini adalah putusan hakim, semua yang dimaksud dengan hukum
adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum
yang mengandalkan peraturan perundang-undangan. Tokoh-tokoh utama realisme
amerika yaitu:
1)
Charles Sanders Peirce (1839-1914): ia
adalah orang pertama yang memulai pemikiran pragmatism, dimana menyangkal
kemungkinan bagi manusia untuk mendapat suatu pengetahuan teoritis yang benar.
2)
John Chipman Gray (1839-1915): ia
menyatakan bahwa disamping logika sebagai faktor penting pembentukan
perundang-undangan, unsur kepribadian, prasangka, dan factor-faktor lain yang
tidak logis memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan hukum.
3)
Oliver Wendell Holmes (1841-1935): ia
berpendapat bahwa pikiran-pikiran tentang apa yang akan diputuskan oleh
pengadilan itulah yang dimaksud dengan hukum.
4)
William James (1842-1910): menurutnya
pragmantisme adalah nama baru untuk beberapa pemikiran yang sama, yang
sebenarnya juga positivis.
5)
John Dewey (1859-1952): inti ajaran
dewey adalah bahwa logika bukan berasal dari kepastian-kepastian dari
prinsip-prinsip teoritis, seperti silogisme, tetapai suatu studi
tentangkemungkinan-kemungkinan.
6)
Benjamin Nathan Cardozo (1870-1938): ia
beranggapan bahwa hukum mengikuti perangkat aturan umum dan yakin bahwa
penganutan terhadap preseden seharusnya merupakan aturannya, dan bukan
merupakan pengecualian dalam pelaksanaan peradilan.
7)
Jerome Frank (1889-1957): menurutnya
hukum tidak disamakan dengan suatu aturan yang tetap.
Ø Realisme
Skandinavia
Tokoh-tokoh
utama Realisme Skandinavia antara lain adalah:
1)
Axel Hagerstrom (1868-1939): ia
menyatakan bahwa hukum sehrusnya di selidiki dengan bertitik tolak pada data
empiris, yang dapat ditemukan dalam perasaan piskologi.
2)
Karl Olivecrona (1897-1980): menurutnya
adalah keliru untuk menganggap hukum sebagai perintah dari seseorang manusia,
sebab tidak mungkin ada manusia yang dapat memberikan semua perintah terkandung
dalam hukum itu.
3)
Alf Ross (1899-1979): perkembangan hukum
menurutnya, melewati empat tahapan. Pertama, hukum adalah suatu system paksaan yang
aktual. Kedua, hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecendrungan dan
keinginan anggota komonitas. Ketiga, hukum adalah sesuatu yang berlaku dan
mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Keempat, supaya hukum yang berlaku
harus ada kompetensi pada orang-orang pembentuknya.
4)
H.L.A. Hart (1907-1992): ia mengatakan
hukum harus dilihat, baik dari aspek eksternal maupun internalnaya.
5)
Julius Stone: ia memandang hukum sebagai
suatu kenyatan sosial. Ia juga berpendapat hukum harus dibedakan dari moral.
6)
John Rawls (lahir 1921): ia
mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat yang adil dengan teori keadilanya
yang dikenal pula dengan teori posisi asli.
g.
Freirechtslehre
Freirechtslehre
(Ajaran hukum bebas ) merupakan penentang paling keras Positivisme Hukum.
Aliran Hukum Bebas berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan hukum.
Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi
menciptakan penyelesaian yang tepat untuk pristiwa konkret, sehingga
pristiwa-pristiwa berikutnya dapat dpecahkan oleh norma yang diciptakan oleh
hakim.
2.2 Hubungan Hukum dengan Keolahragaan
1. Perkembangan hukum terhadap
keolahragaan di Indonesia
Di luar negeri, perhatian kalangan
hukum terhadap dunia olah raga terbilang tinggi. Sampai-sampai ada perkumpulan para advokat bernama Sports
Lawyers Association (SLA).
Sesuai yang tercatat di situsnya, Asosiasi nirlaba ini beranggotakan lebih dari
seribu orang hukum, mulai dari praktisi hukum, akademisi, mahasiswa hukum, dan
profesional lain yang perhatian terhadap olah raga.
Dari
sisi akademik, perhatian terhadap hukum olah raga pun terbilang lumayan.
Program hukum olah raga itu sudah dilembagakan di institusi pendidikan seperti National Sports Law
Institute
yang didirikan sejak 1989 di Marquette University Law di Amerika Serikat. Di
dalam negeri, Hinca IP Panjaitan sudah memulai membentuk Indonesian Sports
Law Institute.
Peluang
untuk lebih memperhatikan hukum olah raga sebenarnya terbuka lebar ketika Pemerintah
dan DPR sedang menyusun RUU Keolahragaan. Apalagi,
patut dicatat, Menteri Negara yang membidangi olah raga berlatar belakang
advokat. Ini adalah peluang besar bagi kalangan hukum untuk berkiprah lebih
jauh. Sayang, hingga RUU Keolahragaan disahkan menjadi UU No. 3 Tahun 2005
tentang Sistem Keolahragaan Nasional, tak banyak terdengar gaung pembahasannya
di kalangan hukum.
Tapi
bukan berarti perhatian kalangan hukum terhadap olah raga di Indonesia
nol sama sekali. Selalu ada yang berusaha mencoba memberikan pemahaman awal
kepada kita. Selain Hinca, nama lain yang patut dicatat adalah advokat senior
Otto Cornelis Kaligis dan rekan-rekannya di O.C.Kaligis
& Associates. Belum lama ini, mereka menerbitkan buku berjudul Hukum & Sepak Bola.
2. Studi
hukum keolahragaan
Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Gandjar
Laksmana, mengatakan bahwa dalam segala hal pasti ada aspek hukumnya. Begitupun
dalam olah raga. Sebagai contoh, masalah kesejahteraan atlet. Misalnya, untuk
atlet sepakbola, yang hanya dibayar oleh klub ketika masa liga atau
pertandingan. Padahal liga hanya berlangsung selama tujuh sampai delapan bulan
setahun. Selebihnya, penghasilan atlet menurun drastis. kesejahteraan dan masa
depan atlet harus diperhatikan. Karenanya, pendidikan menjadi hal yang penting
untuk bagi setiap atlet. “Jangan sampai berprestasi, bubar, pensiun, tidak
mempunya modal untuk melanjutkan hidup”.
Fredi
Haris, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) memandang perlunya
hukum keolahragaan menjadi satu studi yang dipelajari secara dalam. Menurutnya,
diperlukan orang-orang yang memahami secara khusus olahraga dari aspek hukum.
Studi khusus itu bisa dilakukan dalam bentuk sekolah lanjutan, atau program
Magister Hukum Keolahragaan, maupun program lisensi untuk mendapatkan
sertifikat keahlian dalam bidang hukum keolahragaan. Misalnya, manajer
persatuan sepak bola harus mengerti tentang hukum keolahragaan. supaya
mengerti, mengerti haknya si atlet, mengerti haknya pelatih, dan hak dia
(manajer) sendiri.
Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan
Undip, Sukinta dalam
Diskusi Publik Pembangunan Olahraga
dalam Kerangka Akademik,
mengatakan akan mendorong
pengembangan dan penerapan hukum olahraga pada kerangka akademik dengan
sasaran dapat segera diterapkan sebagai mata kuliah di fakultas hukum maupun
pogram studi pada fakultas Ilmu Keolahragaan.
Menurut
Topo Santoso, penerapan hukum olahraga diberbagai negara sudah lama diterapkan.
"Misalnya di Belanda, dikenal istilah lex sportiva (hukum olahraga), hukum
olahraga Eropa, Pusat Kajian Hukum Olahraga/ Asser Institute, international
journal on sport law, Asosiasi Hukum Olahraga, Asosiasi Pengacara
Olahraga, Internasional Seminar on Sport Law, dan RUU Holiganisme di Belanda.
Sudah saatnya di Indonesia segera
dilakukan penerapan hukum olahraga, mengingat Indonesia sudah punya payung
hukum dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
Nasional.
Sedangkan
Amiek Soemarmi menekankan bahwa penguatan dan optimalisasi penerapan hukum
olahraga pada setiap aktivitas keolahragaan adalah penting. Penerapan hukum olahraga
pada prakteknya sudah kita terapkan sejak lahirnya Undang-Undang Keolahragaan,
namun yang paling penting saat ini adalah penguatan dan optimalisasi penerapan
hukum olahraga pada setiap aktivitas keolahragaan.
Selain
terhadap pihak yang berkepentingan, tentunya hukum keolahragaan juga menjadi
penting bagi aparat penegak hukum. Setidaknya aparat penegak hukum bisa
memiliki perspektif yang baru selain norma hukum yang diatur dalam KUHP.
3. Hukum olahraga (Lex Sportiva)
Hukum
olahraga, atau sebutannya Lex Sportiva,
merupakan sistem hukum khusus yang menarik. Menurut Hinca Panjaitan, lex
sportiva punya sistem, tatacara, dan komunitas sendiri meskipun bukan identitas
negara. Sebagai contoh sepakbola yang memiliki otoritas tertinggi yaitu FIFA
dan ternyata merupakan badan hukum
swasta nasional yang berdasarkan hukum Swiss. Namun, aktifitasnya
internasional, melampaui semua negara.
a. Batasan
hukum Negara dalam olahraga
Hukum memiliki
kaitan yang erat dengan olahraga tapi tidak serta merta Negara Indonesia yang
merupakan Negara hukum melibatkan diri terhadap semua kegiatan yang berhubungan
dengan keolahragaan. Ada batasan- batasan yang perlu diperhatikan, mengetahui
otoritas masing-masing dan juga saling mengetahui tempat masing- masing.
b. Intervensi
hukum Negara terhadap hukum olahraga
Hukum olahraga harus Jadi Lex Specialis karena olahraga memiliki law of the
gamenya masing-masing, yang tidak akan bisa diintervensi oleh hukum nasional,
bahkan hukum internasional. Olahraga adalah hak asasi setiap orang. Jika negara
sudah ikut campur terlalu jauh, maka itu berarti negara sudah melanggar hak
asasi rakyatnya. Indonesia sudah cukup jauh melakukan intervensi ke dunia olah
raga.
Penyusunan UU No 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
Nasional (SKN) misalnya. UU itu memberikan kewenangan yang sangat besar bagi
negara untuk ikut campur dalam urusan olahraga. Sebagai contoh, UU SKN mengatur
mengenai standarisasi nasional keolahragaan, akreditasi, dan sertifikasi yang
menjadi domain menteri dan atau lembaga mandiri yang berwenang untuk itu.
Bahkan, pengawasan dan pengendalian olahraga profesional dilakukan oleh lembaga
mandiri yang dibentuk pemerintah.
Intervensi dilakukan terhadap penyelesaian sengketa di
bidang keolahragaan. Pasal 123 Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Keolahragaan, mengatur secara tegas tentang sengketa dalam
induk organisasi seperti sepakbola. Hal ini menunjukkan pemerintah secara tegas
dan sadar melakukan intervensi atas penyelenggaraan kompetisi sepakbola
profesional. Intervensi penyelesaian sengketa dalam cabang sepak bola,
bertentangan dengan hukum global yang mengatur olah raga. Statuta FIFA, dan
berbagai federasi olahraga internasional lainnya menetapkan aturan tidak boleh
membawa penyelesaian sengketa sepakbola ke badan peradilan negara dan tidak
boleh diintervensi oleh pihak manapun.
Walaupun Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
Nasional (UU Olahraga) menyuratkan bahwa penyelesaian melalui badan peradilan
dimungkinkan.
v Pasal 88
1) Penyelesaian sengketa keolahragaan
diupayakan melalui musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh induk organisasi
cabang olahraga.
2) Dalam hal musyawarah dan mufakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa dapat
ditempuh melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
3) Apabila penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, penyelesaian sengketa dapat
dilakukan melalui pengadilan yang sesuai dengan yurisdiksinya.
Terkait Pasal 88 Undang-undang, menurut Hinca kata-kata
pengadilan yang sesuai dengan yurisdiksinya berarti sistem peradilan lembaga
itu sendiri. Maksudnya negara nggak campur tangan, jadi induk-induk olahraga
menciptakan peradilan sendiri-sendiri.
Negara sendiri hanya bertugas menjamin pemenuhan kebutuhan
fasilitas dan infrastruktur olah raga bagi warga negaranya seta memastikan
lapangan yang cukup, dananya cukup, infra strukuturnya cukup. Negara hanya
sebatas pemantauan seperti itu dan tidak lebih. Untuk aspek hukum, negara hanya
bisa mengatur aspek-aspek yang berkenaan dengan olah raga. Misalnya, pengaturan
untuk klub olahraga yang berbentuk perseroan terbatas. Maka klub itu harus
tunduk terhadap pada UU Perseroan terbatas, maupun ketentuan lain yang terkait
misalnya ketentuan perpajakan.
c. Penggunaan kekerasan dalam olahraga
ditinjau dari hukum olahraga dan hukum pidana
Isu pemberlakuan hukum pidana terhadap kasus-kasus kekerasan
yang dilakukan olahragawan pada bidang olahraga, khususnya untuk cabang
olahraga sepak bola, memiliki dua titik pandang yang berbeda.
Pada satu sisi, pemberlakuan hukum pidana terhadap bidang
ini dianggap sebagai sebuah bentuk intervensi yang dilakukan negara terhadap
penyelenggaraan kompetisi sepak bola dan justru akan membahayakan olahraga
tersebut karena beresiko dituntut secara pidana terhadap tindakan kekerasan
yang mungkin dilakukan saat berpartisipasi dalam suatu kegiatan olahraga.
Pada sisi lain, pemidanaan terhadap olahragawan yang
melakukan kekerasan dinilai sebagai hal yang harus dilakukan demi menjaga
kepentingan hukum olahragawan lainnya untuk tidak disakiti secara melawan
hukum.
Kedua pandangan ini memiliki pijakan pembenar atas
dalil-dalil yang dibangunnya pada teori-teori yang berkembang dalam hukum
olahraga. Kelompok pertama cenderung berpihak pada mazhab domestic sports law
dan global sports law atau yang biasa disebut dengan lex sportiva sedangkan
kelompok kedua cenderung berpihak pada mazhab national sports law dan
international sports law. Satu perbedaan besar antara kedua mazhab olahraga
tersebut adalah akses pengadilan nasional terhadap penyelesaian sengketa
olahraga. Kelompok penganut paham lex sportiva mengatakan bahwa segala bentuk
penyelesaian sengketa olahraga harus diselesaikan menurut peraturan internal
organisasi olahraga yang bersangkutan. Mereka melarang setiap pihak yang berada
di bawah lingkup organisasi olahraga seperti klub, asosiasi, ofisial, pemain,
agen, dan sebagainya untuk membawa sengketa keolahragaan pada pengadilan
nasional dan yang terpenting, mereka memiliki imunitas dari sistem hukum
nasional serta memberikan kewenangan penuh kepada badan peradilan yang dibentuk
organisasi olahraga untuk menyelesaikan sengketa keolahragaan tersebut.
Sebaliknya, kelompok kedua memberikan akses kepada pengadilan untuk
menyelesaikan sengketa olahraga. Mereka mencoba mengaplikasikan norma-norma,
peraturan, dan prinsip-prinsip hukum ke dalam bidang olahraga dan bahkan putusan-putusan
pengadilan nasional menjadi sumber penting dalam mazhab national sports law dan
international sports law tersebut. Lantas, mungkinkah suatu tindakan kekerasan
dalam bidang olahraga dipidana atas dasar melakukan tindak pidana penganiayaan,
ada tiga hal yang bisa dijadikan dasar pemberlakuan hukum pidana terhadap
kasus-kasus tersebut:
1) Pertama, dari sudut pandang
mekanisme penyelesaian sengketa keolahragaan. Meskipun di antara kedua kelompok
di atas memiliki perbedaan pandangan akan pemberlakuan hukum pidana ke dalam
dunia olahraga, ternyata banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh olahragawan
pada sebuah pertandingan olahraga yang secara konsisten diproses oleh
pengadilan. Di Indonesia pun juga dilakukan penuntutan terhadap kasus-kasus kekerasan
tersebut yang dibuktikan dengan dijatuhkannya putusan Pengadilan Negeri
Surakarta Nomor 319/Pid.B/2009/PN.Ska dengan terdakwa Nova Zaenal Mutaqin yang
dilanjutkan ke tingkat banding pada Pengadilan Tinggi Semarang dengan Nomor
173/Pid/2010/PT.Smg dan putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor
381/Pid.B/2009/PT.Ska yang juga dilanjutkan ke tingkat banding pada Pengadilan
Tinggi Semarang dengan Nomor 190/Pid/2010/PT.Smg dengan terdakwa Bernard
Momadao.
Hal
ini sesuai dengan asas teritorialitas yang terkandung dalam Pasal 2 KUHP yang
menyatakan bahwa “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku
bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di wilayah Indonesia”.
Selain itu, olahragawan tidak termasuk pula ke dalam kelompok yang dikecualikan
terhadap berlakunya KUHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 KUHP sehingga hukum
pidana dapat diberlakukan terhadap kasus tersebut. Pada sisi lain, UU No. 3
Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional memberikan peluang kepada
pengadilan nasional untuk menyelesaikan sengketa keolahragaan berdasarkan Pasal
88 ayat (3) dengan syarat harus mengutamakan penyelesaian sengketa melalui
musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga,
sehingga pemberlakuan hukum pidana ke dalam bidang olahraga menjadi suatu hal
yang mungkin dilakukan.
2) Kedua, dari sudut pandang
karakteristik olahraga. Cabang olahraga sepak bola merupakan cabang olahraga
yang tidak mengharuskan adanya kekerasan untuk memenangkan suatu pertandingan,
namun berpotensi dilakukannya kontak fisik. Karenanya penggunaan kekerasan
(yang mengandung unsur kriminalitas) tidak diperkenankan pula dilakukan oleh
cabang olahraga sepak bola. Melalui studi yang dilakukan Mike Smith, sosiolog
berkebangsaan Kanada, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di lapangan berhasil
dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yakni brutal body contact, borderline violence, quasi-criminal violence, dan criminal violence. Data ini menunjukkan
bahwa ilmu sosiologi pun ternyata dapat melihat adanya unsur kriminalitas dalam
tindakan kekerasan yang terjadi di lapangan. Beberapa penelitian pun
menunjukkan bahwa atlet pria pada olahraga yang membutuhkan kontak fisik secara
rutin menolak quasi-criminal violence dan criminal violence, tetapi mereka
menerima brutal body contact dan borderline violence selama sesuai
dengan peraturan permainan. Artinya insan olahraga pun ternyata menolak
dilakukannya tindakan kekerasan yang memiliki unsur kriminal dalam sebuah
pertandingan olahraga. Terlebih lagi terhadap tindakan kekerasan yang
dikategorikan sebagai criminal violence,
para pemain sudah berada pada suatu titik dimana mereka mengutuk tindakan
tersebut tanpa mempersoalkan apapun dan harus dituntut berdasarkan hukum
sebagai suatu tindak pidana.
3) Ketiga, dari sudut pandang hukum
pidana. Hak profesi olahragawan yang diakui oleh hukum pidana sebagai dasar
penghapus pidana di luar KUHP bukanlah tanpa batas. Keberadaannya bergantung
pada persetujuan yang diberikan oleh korban, dalam hal ini olahragawan lain,
untuk menerima tindakan kekerasan yang mungkin dilakukan terhadapnya pada
sebuah pertandingan olahraga. Konsep persetujuan olahragawan untuk menerima
cedera dalam sebuah pertandingan olahraga terus berkembang dari kasus Bradshaw
hingga terakhir pada kasus R v. Barnes (2004). Pada kasus Barnes inilah,
majelis hakim memunculkan suatu standar yang dapat dijadikan sebagai panduan
untuk menentukan ada/tidaknya persetujuan korban untuk menerima cedera
pada saat dilakukan tindakan kekerasan terhadapnya pada sebuah pertandingan olahraga.
Standar yang kemudian disebut sebagai parameter
legitimate sport ini nantinya dapat digunakan untuk memisahkan tindakan
mana yang masih dianggap bagian dari permainan dan tindakan mana yang sudah
memasuki ranah hukum pidana. Dengan menggunakan parameter inilah, hukum pidana
dapat diberlakukan dengan lebih jelas terhadap kasus-kasus kekerasan yang
terjadi di lapangan olahraga, khususnya bagi cabang olahraga sepak bola.
Penerapan parameter legitimate sport
ini dapat digunakan pada dua level:
a) Pada tahap penyelidikan yang
dilakukan oleh kepolisian. Sebelum menentukan apakah suatu tindakan kekerasan
dalam cabang olahraga sepak bola akan diproses dengan menggunakan hukum pidana,
akan lebih baik jika kepolisian menganalisis kejadian tersebut dengan menggunakan
parameter legitimate sport tersebut.
b) Pada tahap pemeriksaan di pengadilan
oleh majelis hakim. Jika suatu peristiwa kekerasan pada sebuah pertandingan
sepak bola telah masuk ke pengadilan, majelis hakim dapat menggunakan parameter
legitimate sport ini untuk menentukan ada/tidaknya persetujuan olahragawan yang
menjadi korban dilakukannya kekerasan untuk menerima cedera pada saat dilakukan
tindakan kekerasan terhadapnya pada sebuah pertandingan sepak bola sebelum
akhirnya memutuskan apakah tindakan kekerasan tersebut merupakan tindak pidana
penganiayaan atau sebatas pelanggaran disiplin
Selain
ketiga poin di atas, penting untuk dipahami bahwa hukum pidana harus selalu
dijadikan sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul
termasuk untuk kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada sebuah pertandingan
sepak bola. Pada dasarnya harus diutamakan penyelesaian pada organisasi
olahraga sepak bola seperti pemberian hukuman oleh wasit dan/atau badan
peradilan PSSI. Namun, jika tindakan kekerasan tersebut dilakukan
berulang-ulang dan tidak ada penjeraan yang ditunjukkan oleh pemain setelah
mendapatkan sanksi disiplin tersebut, maka hukum pidana dapat digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan ini. Dengan mengingat sifat ultimum remedium yang dimilikinya, hukum pidana tidak dapat diterapkan
dengan sewenang-wenang.
Oleh
karena itu, kebutuhan akan suatu penjelasan/standar mengenai batasan tersebut
menjadi suatu hal yang penting sebelum aparat penegak hukum memutuskan untuk
memberlakukan hukum pidana ke dalam kasus-kasus kekerasan yang terjadi di
lapangan sepak bola dan parameter
legitimate sport dapat dijadikan salah satu solusi untuk memudahkan tugas
aparat penegak hukum dalam menjawab bebagai permasalahan yang ada tentang
kekerasan.
2.3 Penggunaan
Hukum yang Positif Dalam Pengembangan Keolahragaan
Menurut
Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Sukinta SH,.M.Hum dalam acara Diskusi
Publik Kerjasama Undip dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga, banyak kasus
olahraga yang perlu diselesaikan dengan menggunakan pendekatan hukum, sehingga
hal tersebut akan meningkatkan mutu dunia olahraga Indonesia. Ada juga menurut Sutopo
Santosa, Ph.D, dosen fakultas hukum UI yang menggagas tentang
temuan-temuan hukum di bidang olahraga dan perkembangan negara lain.
“Perkembangan di luar negeri diantaranya adalah meningkatnya pusat kajian hukum
olahraga, meningkatnya internasional journal dan sport law, assosasi hukum
internasional dan asosiasi sport lawyer”. Hukum olahraga membahas tentang
aspek-aspek hukum di bidang olahraga, salah satunya adalah potensi munculnya
keributan di bidang olahraga. Seperti Kasus Zidane menanduk Materzzi di
pertandingan sepakbola perlu dipertanyakan apakah terdapat hukum yang mengatur
hal tersebut dengan hukum yang pasti. Penyelesaian masalah yang terjadi di
olahraga kerapkali menganut hukum organisasi asosiasi olahraga baik secara
nasional dan internasional. Ada banyak hal yang menarik berkaitan dengan
aspek hukum olahraga seperti aspek kontrak antara atlet dengan klub yang menyangkut
hukum perdata. Hukum olahraga juga menyentuh aspek pidana seperti perkelahian,
hukum kompetisi yang menyangkut perkelahian, perselisihan, pertandingan yang
dihentikan sebelum waktunya.
Mengantisipasi
hal tersebut perlu dilakukan penelitian intensif dengan melibatkan perguruan
tinggi untuk mengkaji dan menemukan berbagai fakta yang menyangkut realitas dan
persoalan hukum di Indonesia. Kajian hukum Ooahraga menjadi sebuah kajian yang sangat menarik untuk dibahas hal
tersebut tercermin dari banyak munculnya pusat kajian olehraga, jurnal
internasional olahraga. Perlu diupayakan secara terus menerus untuk
mengembangkan hukum yang bisa berlaku secara regional dengan memperhatikan
keberagaman multikultur dan nilai-nilai yang berbeda di masing-masing negara. Persoalan
yang serius dan perlu disentuh dengan hukum adalah pengelolaan suporter,
perlunya untuk memikirkan menggunakan hukum anti holiganisme yang mengatur
sangsi hukum bagi perusuh dan pencipta anarkisme dalam dunia olahraga.
Penggunaan hukum olahraga untuk mengatasi masalah olahraga sangat memungkinkan
sekali untuk diterapkan di Indonesia.
Sementara
menurut Amiek Soemarmi SH.M.Hum.DFM, pakar Hukum Olahraga Fakultas Hukum Undip
dan juga pengurus KONI Jateng, menyampaikan bahwa Indonesia sebenarnya sudah
memiliki sistem hukum olahraga, banyak kasus yang bisa diselesaikan dengan
sistem hukum olahraga tersebut, di dalam undang-undang tersebut juga mengatur
batasan hukum berupa perjanjian dalam olahraga profesional sehingga akan
memberikan pemahaman dan kepastian hukum serta aturan main yang jelas antara
atlet dengan asiosiasi olahraga atau klubnya. Amiek, menyampaikan bahwa
hukum olahraga mengenai hukum administrasi yang menyangkut kelengkapan
administrasi atlet akan bertanding sehingga tidak akan memunculkan banyak atlet
siluman dari daerah tertentu hanya karena iming-iming bonus atas raihan
prestasi. Data administrasi perlu ditegaskan lebih pasti, selain itu juga
perlunya dikembangkan etika organisasi.
Untuk
mendapatkan kepastian hukum pengelolaan olahraga perlu ada perda yang mengatur
tentang kegiatan olahraga di tingkat daerah, yang dikoordinasikan oleh Dinas
Pemuda dan Olaharga, bahwa sistem hukum olahraga harus diatur dan
dikoordinasikan oleh Menpora dan kemudian di distribusikan ke level dispora, rekam
jejak dari asosiasi organisasi olahraga dan klub akan menjadi data yang penting
untuk mengembangkan dunia olahraga. Selain itu perlu dimulai untuk
melakukan sertifikasi atlet untuk menguji kompetensi profesional atlet dan
rekam prestasi terutama bagi atlet yang berkeinginan untuk menjadi pelatih.
Upaya untuk mewujudkan hal tersebut perlunya keolahragaan diatur dengan
menggunakan hukum positif yaitu hukum yang berlaku sekarang, yang akan
menjadi landasan yang kuat pembinaan dan pengembangan dunia olahraga Indonesia.
Sutopo
dalam sesi diskusi menegaskan kembali bahwa Undang-undang sistem keolahragaan
perlu diapresiasi dengan baik, kasus penyelesaikan hukum di olahrga bisa
dilakukan melalui peradilan atau secara arbitrase (diluar pengadilan) dengan
membuat suatu peradilan yang khusus. Masalah yang seringkali muncul berkaitan
dengan janji pemerintah pada atlet yang berprestasi menjadi tantangan
tersendiri, perlu pengelolaan kehidupan atlet secara profesional, komparatif
pengelolaan olahraga dengan negara asing menjadi sangat perlu seperti belajar
dari Italia yang mengembangkan lex
sportiva dengan menggandeng perusahaan seperti acer untuk pengembangan
olahraga. Perlunya induk organisasi mempunyai struktur hukum yang mapan,
perangkat pengawas yang menjatuhkan sangsi hukum bagi pelanggarnya. Hukum
olahraga sangat berkembang dan di dukung dengan attitude, pemahaman atlet serta
official tentang aspek hukum dalam
dunia olahraga itu sendiri.
Dan
Amiek Soemarmi , menegaskan kembali perlunya aturan main yang jelas yang
dipahami dengan baik sehingga dapat mengatasi konflik, aturan tersebut akan
menjadi equality control dalam dunia
olahraga Indonesia. Perlu ada kesepakatan untuk penggunaan hukum pasti untuk
menyelesaiakan perselisihan dalam olahraga dan hukum yang disepakati bersama dalam
pelaksanaan pertandingan olahraga.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Hukum
merupakan peraturan- peraturan yang diberlakukan untuk menuju tatanan hidup
yang lebih baik dan teratur. Begitupun dalam olahraga yang tidak bisa lepas
dari keterkaitan hukum. Hukum olahraga atau yang disebut dengan lex sportiva
ini dalam perkembangannya di Indonesia sangat kurang dikaji dan diminati
padahal begitu banyak permasalahan yang memerlukan penyelesaian melalui hukum,
baik oleh hukum olahraga sendiri atau dengan hukum Negara. Antara hukum Negara
dan olahraga memiliki batasan dan ranah- ranah tersendiri, yang sebenarnya di
Indonesia ini terlalu sulit membedakan mana ranah hukum Negara dan mana ranah
hukum olahraga.
3.2 Saran
Setiap permasalahan yang ada tidak akan pernah
selesai kalau hanya di bahas di forum- forum, diskusi- diskusi baik itu formal
maupun tidak yang hanya menghasilkan perdebatan- perdebatan tanpa ada solusi
sebagai jalan keluar serta tanpa ada langkah konkret yang menindak lanjuti
hasil diskusi- diskusi tersebut. Negara yang bertindak menyediakan semua
fasilitas yang dibutuhkan dan berfungsi sebagai pengawas harus mengetahui
batasan serta memberikan peluang, kesempatan kepada orang- orang yang ingin
lebih mengkaji tentang hukum yang khusus mengenai keolahragaan. Begitu juga
dengan induk- induk organisasi olahraga lebih menerapkan aturan yang lebih
tegas agar terjadi keselarasan antara hukum Negara dengan hukum olahraga.
DAFTAR
PUSTAKA
Rizki, Anugerah. (2012, Mei). Hukum
Pidana dan Penggunaan Kekerasan pada Cabang Olahraga Sepak
Bola[Online].Tersedia: http://anugerahrizki.blogspot.com /2012/05/
pemidanaan-terhadap-kasus-kasus.html [15
Oktober 2012].