Monday, February 18, 2013

ANALISIS GERAK TEKNIK DASAR BIOMEKANIKA



ANALISIS GERAK TEKNIK DASAR MELEMPAR BOLA PADA PITCHER DALAM SOFTBALL SECARA BIOMEKANIKA

Pitcher adalah seorang fielder yang bertugas melambung bola. Di dalam permainan softball, pitcher merupakan salah satu posisi yang sangat sukar. Seorang pitcher tidak hanya dituntut oleh tugas-tugas yang banyak memeras tenaga saja, akan tetapi juga selalu menggunakan pikirannya dalam menghadapi situasi permainan, baik situasi bertahan maupun menyerang. Permainan dimulai dari Pitcher, yg bertugas melempar Bola kencang, secerdik dan setepat mungkin, agar pemain lawan (Pemukul/Hitter) tidak mungkin dapat memukul bola lemparannya. Partnernya “Catcher”, biasanya memberikan isyarat / kode bola yang hendaknya dilemparkan Pitcher sesuai dengan kelemahan si-Pemukul, baik itu bola lambat, kencang, berbelok atau tipuan sekalipun sesuai dengan trik-trik Pitching yang Pitcher kuasai.
Adapun analisis gerak teknik dasar melempar bola pada pitcher dalam softball secara biomekanika:
v   Pada saat melempar salah satu kaki pitcher akan melangkah kedepan atau memperbesar bidang tumpuan demi menjaga keseimbangan. Hal ini sesuai dengan bunyi Hukum Kesetimbangan Ke II, bahwa “Stabilitas berbanding lurus dengan luas bidang tumpuannya”. Artinya makin luas bidang tumpuan, maka makin besar stabilitasnya. Sebaliknya makin kecil bidang tumpuanya, maka makin kecil stabilitasnya.
v  Bersamaan dengan bola dilempar maka kaki belakang akan terangkat keatas. Untuk menjaga keseimbangan maka badan akan condong kedepan sehingga titik berat badan akan jatuh pada kaki yang menumpu atau pada tumpuannya. Hal ini sesuai dengan Hukum Kesetimbangan I, bahwa “ Badan akan selalu dalam keadaan setimbang selama Proyeksi dari titik berat badan tersebut jatuh dalam bidang tumpuannya”.
v  Terdapat kekuatan kontraksi otot pada tangan yang memegang bola untuk melempar. Kekuatan kontraksi otot adalah maksimal pada ekstensi 1/3 panjangnya. Kalau otot panjang semula (initial length) = 1, maka kekuatan kontraksi maksimalnya adalah apabila otot tersebut ditarik sehingga panjangnya mencapai 1 1/3 1. Dengan memanfaatkan kemampuan kerja otot secara max atau sub max dengan memanjangkan otot lebih dahulu. Pada saat melempar bola softball hendaknya memulai dengan meluruskan lebih dahulu hingga otot biceps dan brachialis teregang secara max atau sub max dan terjadi kontraksi otot isotonis(ada perubahan struktur otot).
v  bola yang dilempar menyudut (dengan sudut elevasi) akan menempuh lintasan yang melengkung berupa parabola dan gerak ini disebut gerak proyektil. Sudut elevasi dan jarak horizontal pada gambar hanya berlaku kalau saat lepas tingginya sama dengan saat jatuh atau saat mendarat. Bila saat lepas lebih tinggi daripada saat jatuh atau saat mendarat, maka untuk mencapai jarak horizontal  yang sebesar- besarnya dan sudut elevasi harus kurang dari 45 derajat. Sedangkan pada bola yang dilemparkan oleh pitcher haruslah dengan kecepatan yang maximal, kenapa? Agar bola sulit dipukul oleh hitter. Hal ini sesuai dengan prinsip gerak proyektil , jika gerakan melempar dimana bukan jarak tapi kecepatan atau waktu yang dikejar, maka sudut elevasinya  harus mendekati garis horizontal (0 derajat). Jadi lemparanya mendekati lurus bukan parabola.
v  Gerakan melempar bola dari bawah adalah berdasarkan prinsip- prinsip gaya sentrifugal. Tarikan terasa sebagai gaya sentrifugal dan akan hilang saat bola lepas dari tangan. Dengan hilangnya  gaya sentrifugal tersebut, hukum inertia berlaku pada bola dan bola terlempar keluar menurut garis tersinggung dari lingkaran yang dibuat oleh tangan.
v  Pada seorang pitcher, bila ayunan lengannya panjang, pengerahan kekuatannya lebih lama sehingga impulsnya lebih besar. Impuls yang besar mengakibatkan momentum yang dihasilkan lebih besar. Momentum tidak timbul begutu saja kalau tidak ada penyebabnya. Penyebab terjadinya momentum adalah kekuatan (K). kalau sebuah bola softball kita dorong atau dilempar, artinya kita mengerahkan kekuatan, maka terjadilah  kekuatan gerak (momentum) pada bola yang besarnya = m × v, dimana m = massa dari gerobak dan v = kecepatan dari bola tersebut. Besarnya momentum tidak timbul dari besarnya K yang kita kerahkan saja, sebab makin lama kita kerahkan K pada bola tersebut maka makin besar pula meomentum yang ditimbulkannya. Jadi besar “K” dan “lamanya kekuatan tersebut bekerja” (t), menentukan besarnya momentum. K × t disebut pengerahan kekuatan atau kejutan kekuatan atau momentum kekuatan atau impuls. Jadi K × t yang menyebabkan, sedangkan m × v adalah akibat yang ditimbulkan. Sebab dan akibat selalu sama besarnya.
K × t = m × v
v  Ketika seeorang pitcher melemparkan bola pada hitter terjadi beberapa gaya yang menyebabkan terjadinya bola bisa dilemparkan atau bisa dipukul oleh hitter, yang dimaksud dengan gaya adalah sesuatau yang menyebabkan terjadinya perubahan keadaan(dari diam ke gerak, dari gerak ke diam, atau perubahan panas, atau perubahan kecepatan).
Ø  Gaya kontraksi otot, gaya ini terjadi pada otot biceps (otot lengan)
Ø  Gaya gesekan, gaya ini terjadi terjadi pada bola yang dilemparkan oleh pitcher dengan udara.

Tuesday, December 11, 2012

Makalah Hukum Ditinjau Dari Perspektif Olahraga


hukum ditinjau dari perspektif olahraga


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sosiologi Olahraga 
Makalah


 




Disusun oleh :
Kelompok 2 / 7E

                          1.      Siti Maryam             
                          2.      Popon Supriatin        
                          3.      Setiawan                   
                          4.      Andi Suhandi         
                          5.      Azis Wikarto          
                          6.      Indra Mustika . R    




PROGRAM STUDI PJKR
(STKIP) SEBELAS APRIL SUMEDANG
S U M E D A N G
2 0 1 2
 




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Hukum merupakan suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari hal apapun  termasuk dalam hal olahraga. Apalagi bahwa Indonesia adalah Negara hukum jelas bahwa hukum memiliki peranan penting. Seperti kasus Nova Zaenal dan Bernard Mamadou, mungkin mereka tak pernah menyangka kalau perkelahian mereka akan menyeret keduanya ke meja hijau. Nova dan Mamadou, secara terpisah, didakwa melanggar Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan di Pengadilan Negeri Solo, Agustus 2009. Akhir Januari 2010 lalu jaksa menuntut keduanya hukuman penjara enam bulan dengan masa percobaan satu tahun.
Sekilas memang tak ada yang aneh dalam kasus Nova dan Mamadou di atas. Para pelanggar hukum memang harus diadili. Namun, persoalan akan muncul ketika diketahui fakta bahwa Nova dan Mamadou berkelahi di lapangan sepak bola.
Nova dan Mamadou bukan sekedar pemuda biasa yang berkelahi di lapangan karena berebut sesuatu atau hanya karena salah paham. Keduanya adalah pesepakbola profesional. Nova adalah pesepakbola profesional Indonesia yang bermain untuk Persis Solo. Sementara Mamadou adalah pemain klub Gresik United asal Liberia.
Perkelahian Nova dan Mamadou terjadi setahun lalu, Februari 2009. Kala itu, Persis Solo sebagai tuan rumah dan menjamu Gresik United. Di pertengahan pertandingan, Nova memprotes tindakan Mamadou yang dianggap tidak fair karena tak membuang bola keluar lapangan saat ada pemain Persis yang cidera. Adu tarik urat leher terjadi antara Nova-Mamadou. Ujungnya, Mamadau memukul pelipis Nova. Tak terima, Nova mengejar dan balas memukul perut Mamadau. Usai pertandingan, polisi menciduk Nova-Mamadu. Bahkan keduanya sempat ditahan. Namun belakangan polisi menangguhkan penahanan keduanya.
Banyak kasus hukum yang terjadi lainnya yang kadang memunculkan permasalahan tersendiri antara hukum nasional dan hukum olahraga. Diperlukan batasan yang jelas dalam penyelsaian.
Bertolak dari pemikiran tersebut maka, penulis memberikan judul HUKUM DITINJAU DARI PERSPEKSTIF OLAHRAGA.

1.2  Rumusan Masalah
Karena begitu luasnya pembahasan mengenai hukum olahraga, maka pembahasan pun dibatasi dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan hukum?
2.      Bagaimana hubungan hukum dengan keolahragaan?
3.      Bagaimana penggunaan hukum yang positif dalam pengembangan keolahragaan?

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Mengetahui pengertian dari dari hukum
2.      Mengetahui hubungan hukum dengan keolahragaan
3.      Mengetahui penggunaan hukum yang positif dalam pengembangan keolahragaan


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Hukum
1.      Pengertian hukum
Ada beberapa pengertian hukum menurut beberapa ahli:
a.       Plato, dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
b.      Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah.
c.       Austin, hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya (Friedmann, 1993: 149).
d.      Bellfoid, hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat.
e.       Mr. E.M. Mayers, hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
f.       Duguit, hukum adalah tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu.
g.      Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan.
h.      Van Kant, hukum adalah serumpun peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk mengatur melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.
i.        Van Apeldoorn, hukum adalah gejala sosial tidak ada masyarakat yang tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek kebudayaan yaitu agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan.
j.        S.M. Amir, S.H.: hukum adalah peraturan, kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi.
k.      E. Utrecht, menyebutkan: hukum adalah himpunan petunjuk hidup –perintah dan larangan– yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.
l.        M.H. Tirtaamidjata, S.H., bahwa hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.
m.    J.T.C. Sumorangkir, S.H. dan Woerjo Sastropranoto, S.H. bahwa hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman.
n.      Soerojo Wignjodipoero, S.H. hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
o.      Dr. Soejono Dirdjosisworo, S.H. menyebutkan aneka arti hukum yang meliputi: (1) hukum dalam arti ketentuan penguasa (undang-udang, keputusan hakim dan sebagainya), (2) hukum dalam arti petugas-petugas-nya (penegak hukum), (3) hukum dalam arti sikap tindak, (4) hukum dalam arti sistem kaidah, (5) hukum dalam arti jalinan nilai (tujuan hukum), (6) hukum dalam arti tata hukum, (7) hukum dalam arti ilmu hukum, (8) hukum dalam arti disiplin hukum.
p.      Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., dan Purnadi Purbacaraka, S.H. menyebutkan arti yang diberikan masyarakat pada hukum sebagai berikut:
1)      Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
2)      Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
3)      Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan.
4)      Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu.
5)      Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum.
6)      Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut keputusan penguasa.
7)      Hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal-balik antara unsur-unsur pokok sistem kenegaraan.
8)      Hukum sebagai sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
9)      Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan-jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang siagap baik dan buruk.
q.      Otje Salman, S.H.: dilihat dari kenyataan sehari-hari di lingkungan masyarakat mengartikan atau memberi arti pada hukum terlepas dar apakah itu benar atau keliru, sebagai berikut:
1)      Hukum sebagai ilmu pengetahuan, diberikan oleh kalangan ilmuan.
2)      Hukum sebagai disiplin, diberikan oleh filosof, teoritis dan politisi (politik hukum).
3)      Hukum sebagai kaidah, diberikan oleh filosof, orang yang bijaksana.
4)      Hukum sebagai Lembaga Sosial, diberika oleh filosof, ahli Sosiaologi Hukum.
5)      Hukum sebagai tata hukum, diberikan oleh DPR. Dan eksekutif (di Indonesia).
6)      Hukum sebagai petugas, diberikan oleh tukang beca, pedagang kaki lima.
7)      Hukum sebagai keputusan penguasa, diberikan oleh atasan dan bawahan dalam suatu Instansi atau lembaga negara.
8)      Hukum sebagai proses pemerintah, diberika oleh anggota dan pimpinan eksekutif.
9)      Hukum sebagai sarana sistem pengandalian sosial, diberikan oleh para pembentuk dan pelaksana hukum.
10)  Hukum sebagai sikap tindak atau perikelakuan ajeg, diberikan oleh anggota dan pemuka masyarakat.
11)  Hukum sebagai nilai-nilai diberikan oleh filosof, teorotis (ahli yurisprudence).
12)  Hukum sebagai seni, diberikan oleh mereka yang peka terhadap lingkungannya; ahli karikatur.

2.      Aliran – aliran dalam filsafat hukum
Timbulnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukan pergulatan pemikiran yang tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Apabila pada masa lalu, filsafat hukum merupakan produk sampingan dari para filsuf, dewasa ini kedudukannya tidak lagi demikian karena masalah-masalah filsafat hukum telah menjadi bahan kajian tersendiri bagi para ahli hukum.
a.       Aliran hukum alam
Menurut sumbernya, aliran hukum alam dapat dibagi dua macam yaitu: Irasional dan Rasional. Aliran hukum yang irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari tuhan secara langsung. Sebaliknya, aliran hukum alam yang rasional berpendapat bahwa sumber hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia. Pendukung aliran hukum alam irasional antara lain:
1)      Thomas Aquinas (1225-1274): yang mengatakan ada 4 macam hukum yaitu:
a)      lex aeterna (hukum rasio tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia)
b)      lex devina (hukum rasio tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia)
c)      lex naturalis (hukum alam yaitu penjelmaan dari lex aeterna kedalam rasio manusia)
d)     lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia didunia)
2)      John Salisbury (1115-1180): menurutnya jika kalau masing-masing penduduk berkerja untuk kepentingan sendiri, kepentingan masyarakat akan terpenuhi dengan sebaik-baiknya.
3)      Dante Alighieri (1265-1321): menurutnya, badan tertinggi yang memperoleh legitimasi dari tuhan sebagai monarki dunia ini adalah kekaisaran romawi.
4)      Piere Dubois (lahir 1255): ia menyatakan bahwa penguasa dapat langsung menerima kekuasaan dari tuhan tanpa perlu melewati pimpinan gereja.
5)      Marsilius padua (1270-1340) dan William Occam (1280-1317): padua berpendapat bahwa Negara berada diatas kekuasaan paus. Kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat. Dan occam berpendapat rasio manusia tidak dapat memastikan suatu kebenaran.
6)      John Wycliffe (1320-1384) dan johnannea Huss (1369-1415): Wycliffe berpendapat kekuasaan ketuhanan tidak perlu melalui perantara, sehingga baik para rohaniawan maupun orang awam sama derajatnya dimata tuhan. Dan huss mengatakan bahwa gereja tidak perlu memiliki hak milik.
b.      Positivisme hukum
Positivisme hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu secara tegas memisahkan antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen). Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak yaitu:
1)      Aliran hukum positif analistis: John Austin (1790-1859)
Hukum adalah perintah dari penguasa Negara. Dan menurutnya hukum dipandang sebagai suatu system yang tetap, logis, dan tertutup. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur yaitu: perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban (duty), kedaulatan (sovereignty).
2)      Aliran hukum murni: Hans Kelsen (1881-1973)
Menurut Kelsen, harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis, seperti unsure sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan teori hukum murni. Baginya hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sbagai mahluk rasional.
c.       Utilitaianisme
Utilitaianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakan kemanfaatkan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukan kedalam Positivisme Hukum, mengingat faham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan tujun hukum adalahmenciptakan ketertiban masyarakat. Pendukung Utilitarianisme yang paling penting yaitu:
1)      Jeremy Bentham (1748-1832): ia berpendapat bahwa alam memberikan kebahagian dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahan. Kabaikan adalah kebahagian, dan kejahatan adalah kesusahan.
2)      Jhon Stuar Mill (1806-1873): ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan itu melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Jadi yang ingin dicapai oleh manusia bukan benda atau sesuatu hal tertentu, melainkan kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya.
3)      Rudolf von Jhering (1818-1892): baginya tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan “kepentingan” ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenagan dan menghindari penderitaan.
d.      Mazhab sejarah
Tokoh-tokoh penting mazhab sejarah yaitu:
1)      Friedrich Karl von savigny (1770-1861): menurutnya hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak dalam jiwa bangsa itu.
2)      Puchta (1798-1846): sama dengan savigny, ia berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa yang bersangkutan.
3)      Henry Summer Maine (1822-1888): ia melakukan penelitian untuk memperkuat pemikiran von Savigny, yang membuktikan adanya pola evolusi pada pembagi masyarakat dalam situasi sejarahyang sama.
e.       Sociological jurisprudence
Menurut aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang abik haruslah hukum yang sesuai dengan yang hidup di masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Tokoh-tokoh aliran Sociological Jurisprudence antara lain adalah:
1)      Eugen Ehrlich (1862-1922): ia beranggapan bahwa hukum tunduk pada ketentuan-ketentuan social tertentu. Hukum tidak mungkin efektif, oleh karena ketertiban dalam masyarakat didasarkan pengakuan sosial terhadap hukum, dan bukan karena penerapannya secara resmi oleh Negara.
2)      Roscoe Pound (1870-1964): dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engineering).
f.       Realisme hukum
Dalam pandangan penganut Realisme, hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan control social. Beberapa cirri realisme yang terpenting diantaranya:
1)      Tidak ada mazhab realis; realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja tangan hukum.
2)      Realisme adalah konsepsi hukumyang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan social, sehingga tiap bagian hrus diuji tujuan dan akibatnya.
3)      Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan harusnya ada, untuk tujuan-tujuan studi.
4)      Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum, sepanjang ketentuan-ketentuan dan konsepsi hukum menggambarkan apa yang sebebarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orang.
5)      Realisme menekankan evolusi tiap bagian hukum dengan mengingatkan akibatnya.
Sebenranya realime sebagai suatu gerakan dapat dibedakan dalam dua kelompok yaitu Realisme Amerika dan Realisme Skandinavia. Menurut Friedmann, persamaan Realisme Skandinavia dengan Realisme Amerika adalah semata-mata verbal.
Ø  Realisme Amerika
Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim, semua yang dimaksud dengan hukum adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan. Tokoh-tokoh utama realisme amerika yaitu:
1)      Charles Sanders Peirce (1839-1914): ia adalah orang pertama yang memulai pemikiran pragmatism, dimana menyangkal kemungkinan bagi manusia untuk mendapat suatu pengetahuan teoritis yang benar.
2)      John Chipman Gray (1839-1915): ia menyatakan bahwa disamping logika sebagai faktor penting pembentukan perundang-undangan, unsur kepribadian, prasangka, dan factor-faktor lain yang tidak logis memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan hukum.
3)      Oliver Wendell Holmes (1841-1935): ia berpendapat bahwa pikiran-pikiran tentang apa yang akan diputuskan oleh pengadilan itulah yang dimaksud dengan hukum.
4)      William James (1842-1910): menurutnya pragmantisme adalah nama baru untuk beberapa pemikiran yang sama, yang sebenarnya juga positivis.
5)      John Dewey (1859-1952): inti ajaran dewey adalah bahwa logika bukan berasal dari kepastian-kepastian dari prinsip-prinsip teoritis, seperti silogisme, tetapai suatu studi tentangkemungkinan-kemungkinan.
6)      Benjamin Nathan Cardozo (1870-1938): ia beranggapan bahwa hukum mengikuti perangkat aturan umum dan yakin bahwa penganutan terhadap preseden seharusnya merupakan aturannya, dan bukan merupakan pengecualian dalam pelaksanaan peradilan.
7)      Jerome Frank (1889-1957): menurutnya hukum tidak disamakan dengan suatu aturan yang tetap.
Ø  Realisme Skandinavia
Tokoh-tokoh utama Realisme Skandinavia antara lain adalah:
1)      Axel Hagerstrom (1868-1939): ia menyatakan bahwa hukum sehrusnya di selidiki dengan bertitik tolak pada data empiris, yang dapat ditemukan dalam perasaan piskologi.
2)      Karl Olivecrona (1897-1980): menurutnya adalah keliru untuk menganggap hukum sebagai perintah dari seseorang manusia, sebab tidak mungkin ada manusia yang dapat memberikan semua perintah terkandung dalam hukum itu.
3)      Alf Ross (1899-1979): perkembangan hukum menurutnya, melewati empat tahapan. Pertama, hukum adalah suatu system paksaan yang aktual. Kedua, hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecendrungan dan keinginan anggota komonitas. Ketiga, hukum adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Keempat, supaya hukum yang berlaku harus ada kompetensi pada orang-orang pembentuknya.
4)      H.L.A. Hart (1907-1992): ia mengatakan hukum harus dilihat, baik dari aspek eksternal maupun internalnaya.
5)      Julius Stone: ia memandang hukum sebagai suatu kenyatan sosial. Ia juga berpendapat hukum harus dibedakan dari moral.
6)      John Rawls (lahir 1921): ia mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat yang adil dengan teori keadilanya yang dikenal pula dengan teori posisi asli.
g.      Freirechtslehre
Freirechtslehre (Ajaran hukum bebas ) merupakan penentang paling keras Positivisme Hukum. Aliran Hukum Bebas berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk pristiwa konkret, sehingga pristiwa-pristiwa berikutnya dapat dpecahkan oleh norma yang diciptakan oleh hakim.

2.2  Hubungan Hukum dengan Keolahragaan
1.      Perkembangan hukum terhadap keolahragaan di Indonesia
Di luar negeri, perhatian kalangan hukum terhadap dunia olah raga terbilang tinggi. Sampai-sampai ada perkumpulan para advokat bernama Sports Lawyers Association (SLA). Sesuai yang tercatat di situsnya, Asosiasi nirlaba ini beranggotakan lebih dari seribu orang hukum, mulai dari praktisi hukum, akademisi, mahasiswa hukum, dan profesional lain yang perhatian terhadap olah raga.
Dari sisi akademik, perhatian terhadap hukum olah raga pun terbilang lumayan. Program hukum olah raga itu sudah dilembagakan di institusi pendidikan seperti National Sports Law Institute yang didirikan sejak 1989 di Marquette University Law di Amerika Serikat. Di dalam negeri, Hinca IP Panjaitan sudah memulai membentuk Indonesian Sports Law Institute.
Peluang untuk lebih memperhatikan hukum olah raga sebenarnya terbuka lebar ketika Pemerintah dan DPR sedang menyusun RUU Keolahragaan. Apalagi, patut dicatat, Menteri Negara yang membidangi olah raga berlatar belakang advokat. Ini adalah peluang besar bagi kalangan hukum untuk berkiprah lebih jauh. Sayang, hingga RUU Keolahragaan disahkan menjadi UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, tak banyak terdengar gaung pembahasannya di kalangan hukum.
Tapi bukan berarti perhatian kalangan hukum terhadap olah raga di Indonesia nol sama sekali. Selalu ada yang berusaha mencoba memberikan pemahaman awal kepada kita. Selain Hinca, nama lain yang patut dicatat adalah advokat senior Otto Cornelis Kaligis dan rekan-rekannya di O.C.Kaligis & Associates. Belum lama ini, mereka menerbitkan buku berjudul Hukum & Sepak Bola.

2.      Studi hukum keolahragaan
Pakar  Hukum Pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana, mengatakan bahwa dalam segala hal pasti ada aspek hukumnya. Begitupun dalam olah raga. Sebagai contoh, masalah kesejahteraan atlet. Misalnya, untuk atlet sepakbola, yang hanya dibayar oleh klub ketika masa liga atau pertandingan. Padahal liga hanya berlangsung selama tujuh sampai delapan bulan setahun. Selebihnya, penghasilan atlet menurun drastis. kesejahteraan dan masa depan atlet harus diperhatikan. Karenanya, pendidikan menjadi hal yang penting untuk bagi setiap atlet. “Jangan sampai berprestasi, bubar, pensiun, tidak mempunya modal untuk melanjutkan hidup”.
Fredi Haris, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) memandang perlunya hukum keolahragaan menjadi satu studi yang dipelajari secara dalam. Menurutnya, diperlukan orang-orang yang memahami secara khusus olahraga dari aspek hukum. Studi khusus itu bisa dilakukan dalam bentuk sekolah lanjutan, atau program Magister Hukum Keolahragaan, maupun program lisensi untuk mendapatkan sertifikat keahlian dalam bidang hukum keolahragaan. Misalnya, manajer persatuan sepak bola harus mengerti tentang hukum keolahragaan. supaya mengerti, mengerti haknya si atlet, mengerti haknya pelatih, dan hak dia (manajer) sendiri.
 Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan Undip, Sukinta dalam Diskusi Publik Pembangunan Olahraga dalam Kerangka Akademik, mengatakan akan mendorong pengembangan dan penerapan  hukum olahraga pada kerangka akademik dengan sasaran dapat segera diterapkan sebagai mata kuliah di fakultas hukum maupun pogram studi pada fakultas Ilmu Keolahragaan.
Menurut  Topo Santoso, penerapan hukum olahraga diberbagai negara sudah lama diterapkan. "Misalnya di Belanda, dikenal istilah lex sportiva (hukum olahraga), hukum olahraga Eropa, Pusat Kajian Hukum Olahraga/ Asser Institute,  international journal on sport law, Asosiasi Hukum Olahraga,  Asosiasi Pengacara Olahraga, Internasional Seminar on Sport Law, dan RUU Holiganisme di Belanda. Sudah  saatnya di Indonesia segera dilakukan penerapan hukum olahraga, mengingat Indonesia sudah punya payung hukum dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
Sedangkan Amiek Soemarmi menekankan bahwa penguatan dan optimalisasi penerapan hukum olahraga pada setiap aktivitas keolahragaan adalah penting. Penerapan hukum olahraga pada prakteknya sudah kita terapkan sejak lahirnya Undang-Undang Keolahragaan, namun yang paling penting saat ini adalah penguatan dan optimalisasi penerapan hukum olahraga pada setiap aktivitas keolahragaan.
Selain terhadap pihak yang berkepentingan, tentunya hukum keolahragaan juga menjadi penting bagi aparat penegak hukum. Setidaknya aparat penegak hukum bisa memiliki perspektif yang baru selain norma hukum yang diatur dalam KUHP.

3.      Hukum olahraga (Lex Sportiva)
      Hukum olahraga, atau sebutannya Lex Sportiva, merupakan sistem hukum khusus yang menarik. Menurut Hinca Panjaitan, lex sportiva punya sistem, tatacara, dan komunitas sendiri meskipun bukan identitas negara. Sebagai contoh sepakbola yang memiliki otoritas tertinggi yaitu FIFA dan ternyata merupakan  badan hukum swasta nasional yang berdasarkan hukum Swiss. Namun, aktifitasnya internasional, melampaui semua negara.
a.       Batasan hukum Negara dalam olahraga
Hukum memiliki kaitan yang erat dengan olahraga tapi tidak serta merta Negara Indonesia yang merupakan Negara hukum melibatkan diri terhadap semua kegiatan yang berhubungan dengan keolahragaan. Ada batasan- batasan yang perlu diperhatikan, mengetahui otoritas masing-masing dan juga saling mengetahui tempat masing- masing.
b.      Intervensi hukum Negara terhadap hukum olahraga
Hukum olahraga harus Jadi Lex Specialis karena olahraga memiliki law of the gamenya masing-masing, yang tidak akan bisa diintervensi oleh hukum nasional, bahkan hukum internasional. Olahraga adalah hak asasi setiap orang. Jika negara sudah ikut campur terlalu jauh, maka itu berarti negara sudah melanggar hak asasi rakyatnya. Indonesia sudah cukup jauh melakukan intervensi ke dunia olah raga.
Penyusunan UU No 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) misalnya. UU itu memberikan kewenangan yang sangat besar bagi negara untuk ikut campur dalam urusan olahraga. Sebagai contoh, UU SKN mengatur mengenai standarisasi nasional keolahragaan, akreditasi, dan sertifikasi yang menjadi domain menteri dan atau lembaga mandiri yang berwenang untuk itu. Bahkan, pengawasan dan pengendalian olahraga profesional dilakukan oleh lembaga mandiri yang dibentuk pemerintah.
Intervensi dilakukan terhadap penyelesaian sengketa di bidang keolahragaan. Pasal 123 Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, mengatur secara tegas tentang sengketa dalam induk organisasi seperti sepakbola. Hal ini menunjukkan pemerintah secara tegas dan sadar melakukan intervensi atas penyelenggaraan kompetisi sepakbola profesional. Intervensi penyelesaian sengketa dalam cabang sepak bola, bertentangan dengan hukum global yang mengatur olah raga. Statuta FIFA, dan berbagai federasi olahraga internasional lainnya menetapkan aturan tidak boleh membawa penyelesaian sengketa sepakbola ke badan peradilan negara dan tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun.
Walaupun Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU Olahraga) menyuratkan bahwa penyelesaian melalui badan peradilan dimungkinkan.
v  Pasal 88
1)      Penyelesaian sengketa keolahragaan diupayakan melalui musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga.
2)      Dalam hal musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3)      Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan yang sesuai dengan yurisdiksinya.
Terkait Pasal 88 Undang-undang, menurut Hinca kata-kata pengadilan yang sesuai dengan yurisdiksinya berarti sistem peradilan lembaga itu sendiri. Maksudnya negara nggak campur tangan, jadi induk-induk olahraga menciptakan peradilan sendiri-sendiri.
Negara sendiri hanya bertugas menjamin pemenuhan kebutuhan fasilitas dan infrastruktur olah raga bagi warga negaranya seta memastikan lapangan yang cukup, dananya cukup, infra strukuturnya cukup. Negara hanya sebatas pemantauan seperti itu dan tidak lebih. Untuk aspek hukum, negara hanya bisa mengatur aspek-aspek yang berkenaan dengan olah raga. Misalnya, pengaturan untuk klub olahraga yang berbentuk perseroan terbatas. Maka klub itu harus tunduk terhadap pada UU Perseroan terbatas, maupun ketentuan lain yang terkait misalnya ketentuan perpajakan.
c.       Penggunaan kekerasan dalam olahraga ditinjau dari hukum olahraga dan hukum pidana
Isu pemberlakuan hukum pidana terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan olahragawan pada bidang olahraga, khususnya untuk cabang olahraga sepak bola, memiliki dua titik pandang yang berbeda.
Pada satu sisi, pemberlakuan hukum pidana terhadap bidang ini dianggap sebagai sebuah bentuk intervensi yang dilakukan negara terhadap penyelenggaraan kompetisi sepak bola dan justru akan membahayakan olahraga tersebut karena beresiko dituntut secara pidana terhadap tindakan kekerasan yang mungkin dilakukan saat berpartisipasi dalam suatu kegiatan olahraga.
Pada sisi lain, pemidanaan terhadap olahragawan yang melakukan kekerasan dinilai sebagai hal yang harus dilakukan demi menjaga kepentingan hukum olahragawan lainnya untuk tidak disakiti secara melawan hukum.
Kedua pandangan ini memiliki pijakan pembenar atas dalil-dalil yang dibangunnya pada teori-teori yang berkembang dalam hukum olahraga. Kelompok pertama cenderung berpihak pada mazhab domestic sports law dan global sports law atau yang biasa disebut dengan lex sportiva sedangkan kelompok kedua cenderung berpihak pada mazhab national sports law dan international sports law. Satu perbedaan besar antara kedua mazhab olahraga tersebut adalah akses pengadilan nasional terhadap penyelesaian sengketa olahraga. Kelompok penganut paham lex sportiva mengatakan bahwa segala bentuk penyelesaian sengketa olahraga harus diselesaikan menurut peraturan internal organisasi olahraga yang bersangkutan. Mereka melarang setiap pihak yang berada di bawah lingkup organisasi olahraga seperti klub, asosiasi, ofisial, pemain, agen, dan sebagainya untuk membawa sengketa keolahragaan pada pengadilan nasional dan yang terpenting, mereka memiliki imunitas dari sistem hukum nasional serta memberikan kewenangan penuh kepada badan peradilan yang dibentuk organisasi olahraga untuk menyelesaikan sengketa keolahragaan tersebut. Sebaliknya, kelompok kedua memberikan akses kepada pengadilan untuk menyelesaikan sengketa olahraga. Mereka mencoba mengaplikasikan norma-norma, peraturan, dan prinsip-prinsip hukum ke dalam bidang olahraga dan bahkan putusan-putusan pengadilan nasional menjadi sumber penting dalam mazhab national sports law dan international sports law tersebut. Lantas, mungkinkah suatu tindakan kekerasan dalam bidang olahraga dipidana atas dasar melakukan tindak pidana penganiayaan, ada tiga hal yang bisa dijadikan dasar pemberlakuan hukum pidana terhadap kasus-kasus tersebut:
1)     Pertama, dari sudut pandang mekanisme penyelesaian sengketa keolahragaan. Meskipun di antara kedua kelompok di atas memiliki perbedaan pandangan akan pemberlakuan hukum pidana ke dalam dunia olahraga, ternyata banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh olahragawan pada sebuah pertandingan olahraga yang secara konsisten diproses oleh pengadilan. Di Indonesia pun juga dilakukan penuntutan terhadap kasus-kasus kekerasan tersebut yang dibuktikan dengan dijatuhkannya putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 319/Pid.B/2009/PN.Ska dengan terdakwa Nova Zaenal Mutaqin yang dilanjutkan ke tingkat banding pada Pengadilan Tinggi Semarang dengan Nomor 173/Pid/2010/PT.Smg dan putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 381/Pid.B/2009/PT.Ska yang juga dilanjutkan ke tingkat banding pada Pengadilan Tinggi Semarang dengan Nomor 190/Pid/2010/PT.Smg dengan terdakwa Bernard Momadao.
      Hal ini sesuai dengan asas teritorialitas yang terkandung dalam Pasal 2 KUHP yang menyatakan bahwa “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di wilayah Indonesia”. Selain itu, olahragawan tidak termasuk pula ke dalam kelompok yang dikecualikan terhadap berlakunya KUHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 KUHP sehingga hukum pidana dapat diberlakukan terhadap kasus tersebut. Pada sisi lain, UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional memberikan peluang kepada pengadilan nasional untuk menyelesaikan sengketa keolahragaan berdasarkan Pasal 88 ayat (3) dengan syarat harus mengutamakan penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga, sehingga pemberlakuan hukum pidana ke dalam bidang olahraga menjadi suatu hal yang mungkin dilakukan.
2)     Kedua, dari sudut pandang karakteristik olahraga. Cabang olahraga sepak bola merupakan cabang olahraga yang tidak mengharuskan adanya kekerasan untuk memenangkan suatu pertandingan, namun berpotensi dilakukannya kontak fisik. Karenanya penggunaan kekerasan (yang mengandung unsur kriminalitas) tidak diperkenankan pula dilakukan oleh cabang olahraga sepak bola. Melalui studi yang dilakukan Mike Smith, sosiolog berkebangsaan Kanada, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di lapangan berhasil dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yakni brutal body contact, borderline violence, quasi-criminal violence, dan criminal violence. Data ini menunjukkan bahwa ilmu sosiologi pun ternyata dapat melihat adanya unsur kriminalitas dalam tindakan kekerasan yang terjadi di lapangan. Beberapa penelitian pun menunjukkan bahwa atlet pria pada olahraga yang membutuhkan kontak fisik secara rutin menolak quasi-criminal violence dan criminal violence, tetapi mereka menerima brutal body contact dan borderline violence selama sesuai dengan peraturan permainan. Artinya insan olahraga pun ternyata menolak dilakukannya tindakan kekerasan yang memiliki unsur kriminal dalam sebuah pertandingan olahraga. Terlebih lagi terhadap tindakan kekerasan yang dikategorikan sebagai criminal violence, para pemain sudah berada pada suatu titik dimana mereka mengutuk tindakan tersebut tanpa mempersoalkan apapun dan harus dituntut berdasarkan hukum sebagai suatu tindak pidana.
3)     Ketiga, dari sudut pandang hukum pidana. Hak profesi olahragawan yang diakui oleh hukum pidana sebagai dasar penghapus pidana di luar KUHP bukanlah tanpa batas. Keberadaannya bergantung pada persetujuan yang diberikan oleh korban, dalam hal ini olahragawan lain, untuk menerima tindakan kekerasan yang mungkin dilakukan terhadapnya pada sebuah pertandingan olahraga. Konsep persetujuan olahragawan untuk menerima cedera dalam sebuah pertandingan olahraga terus berkembang dari kasus Bradshaw hingga terakhir pada kasus R v. Barnes (2004). Pada kasus Barnes inilah, majelis hakim memunculkan suatu standar yang dapat dijadikan sebagai panduan untuk  menentukan ada/tidaknya persetujuan korban untuk menerima cedera pada saat dilakukan tindakan kekerasan terhadapnya pada sebuah pertandingan olahraga. Standar yang kemudian disebut sebagai parameter legitimate sport ini nantinya dapat digunakan untuk memisahkan tindakan mana yang masih dianggap bagian dari permainan dan tindakan mana yang sudah memasuki ranah hukum pidana. Dengan menggunakan parameter inilah, hukum pidana dapat diberlakukan dengan lebih jelas terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lapangan olahraga, khususnya bagi cabang olahraga sepak bola. Penerapan parameter legitimate sport ini dapat digunakan pada dua level:
a)      Pada tahap penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian. Sebelum menentukan apakah suatu tindakan kekerasan dalam cabang olahraga sepak bola akan diproses dengan menggunakan hukum pidana, akan lebih baik jika kepolisian menganalisis kejadian tersebut dengan menggunakan parameter legitimate sport tersebut.
b)      Pada tahap pemeriksaan di pengadilan oleh majelis hakim. Jika suatu peristiwa kekerasan pada sebuah pertandingan sepak bola telah masuk ke pengadilan, majelis hakim dapat menggunakan parameter legitimate sport ini untuk menentukan ada/tidaknya persetujuan olahragawan yang menjadi korban dilakukannya kekerasan untuk menerima cedera pada saat dilakukan tindakan kekerasan terhadapnya pada sebuah pertandingan sepak bola sebelum akhirnya memutuskan apakah tindakan kekerasan tersebut merupakan tindak pidana penganiayaan atau sebatas pelanggaran disiplin
      Selain ketiga poin di atas, penting untuk dipahami bahwa hukum pidana harus selalu dijadikan sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul termasuk untuk kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada sebuah pertandingan sepak bola. Pada dasarnya harus diutamakan penyelesaian pada organisasi olahraga sepak bola seperti pemberian hukuman oleh wasit dan/atau badan peradilan PSSI. Namun, jika tindakan kekerasan tersebut dilakukan berulang-ulang dan tidak ada penjeraan yang ditunjukkan oleh pemain setelah mendapatkan sanksi disiplin tersebut, maka hukum pidana dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Dengan mengingat sifat ultimum remedium yang dimilikinya, hukum pidana tidak dapat diterapkan dengan sewenang-wenang.
      Oleh karena itu, kebutuhan akan suatu penjelasan/standar mengenai batasan tersebut menjadi suatu hal yang penting sebelum aparat penegak hukum memutuskan untuk memberlakukan hukum pidana ke dalam kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lapangan sepak bola dan parameter legitimate sport dapat dijadikan salah satu solusi untuk memudahkan tugas aparat penegak hukum dalam menjawab bebagai permasalahan yang ada tentang kekerasan.

2.3  Penggunaan Hukum yang Positif Dalam Pengembangan Keolahragaan
Menurut Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Sukinta SH,.M.Hum dalam acara Diskusi Publik Kerjasama Undip dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga, banyak kasus olahraga yang perlu diselesaikan dengan menggunakan pendekatan hukum, sehingga hal tersebut akan meningkatkan mutu dunia olahraga Indonesia. Ada juga menurut Sutopo Santosa, Ph.D, dosen fakultas hukum UI  yang menggagas tentang temuan-temuan hukum di bidang olahraga dan perkembangan negara lain. “Perkembangan di luar negeri diantaranya adalah meningkatnya pusat kajian hukum olahraga, meningkatnya internasional journal dan sport law, assosasi hukum internasional dan asosiasi sport lawyer”. Hukum olahraga membahas tentang aspek-aspek hukum di bidang olahraga, salah satunya adalah potensi munculnya keributan di bidang olahraga. Seperti Kasus Zidane menanduk Materzzi di pertandingan sepakbola perlu dipertanyakan apakah terdapat hukum yang mengatur hal tersebut dengan hukum yang pasti. Penyelesaian masalah yang terjadi di olahraga kerapkali menganut hukum organisasi asosiasi olahraga baik secara nasional dan internasional.  Ada banyak hal yang menarik berkaitan dengan aspek hukum olahraga seperti aspek kontrak antara atlet dengan klub yang menyangkut hukum perdata. Hukum olahraga juga menyentuh aspek pidana seperti perkelahian, hukum kompetisi yang menyangkut perkelahian, perselisihan, pertandingan yang dihentikan sebelum waktunya.
Mengantisipasi hal tersebut perlu dilakukan penelitian intensif dengan melibatkan perguruan tinggi untuk mengkaji dan menemukan berbagai fakta yang menyangkut realitas dan persoalan hukum di Indonesia. Kajian hukum Ooahraga menjadi sebuah kajian yang sangat menarik untuk dibahas hal tersebut tercermin dari banyak munculnya pusat kajian olehraga, jurnal internasional olahraga.  Perlu diupayakan secara terus menerus untuk mengembangkan hukum yang bisa berlaku secara regional dengan memperhatikan keberagaman multikultur dan nilai-nilai yang berbeda di masing-masing negara.  Persoalan yang serius dan perlu disentuh dengan hukum adalah pengelolaan suporter, perlunya untuk memikirkan menggunakan hukum anti holiganisme yang mengatur sangsi hukum bagi perusuh dan pencipta anarkisme dalam dunia olahraga. Penggunaan hukum olahraga untuk mengatasi masalah olahraga sangat memungkinkan sekali untuk diterapkan di Indonesia.
Sementara menurut Amiek Soemarmi SH.M.Hum.DFM, pakar Hukum Olahraga Fakultas Hukum Undip dan juga pengurus KONI Jateng, menyampaikan bahwa Indonesia sebenarnya sudah memiliki sistem hukum olahraga, banyak kasus yang bisa diselesaikan dengan sistem hukum olahraga tersebut, di dalam undang-undang tersebut juga mengatur batasan hukum berupa perjanjian dalam olahraga profesional sehingga akan memberikan pemahaman dan kepastian hukum serta aturan main yang jelas antara atlet dengan asiosiasi olahraga atau klubnya.  Amiek, menyampaikan bahwa hukum olahraga mengenai hukum administrasi yang menyangkut kelengkapan administrasi atlet akan bertanding sehingga tidak akan memunculkan banyak atlet siluman dari daerah tertentu hanya karena iming-iming bonus atas raihan prestasi. Data administrasi perlu ditegaskan lebih pasti, selain itu juga perlunya dikembangkan etika organisasi.
Untuk mendapatkan kepastian hukum pengelolaan olahraga perlu ada perda yang mengatur tentang kegiatan olahraga di tingkat daerah, yang dikoordinasikan oleh Dinas Pemuda dan Olaharga, bahwa sistem hukum olahraga harus diatur dan dikoordinasikan oleh Menpora dan kemudian di distribusikan ke level dispora, rekam jejak dari asosiasi organisasi olahraga dan klub akan menjadi data yang penting untuk mengembangkan dunia olahraga.  Selain itu perlu dimulai untuk melakukan sertifikasi atlet untuk menguji kompetensi profesional atlet dan rekam prestasi terutama bagi atlet yang berkeinginan untuk menjadi pelatih. Upaya untuk mewujudkan hal tersebut perlunya keolahragaan diatur dengan menggunakan hukum positif yaitu hukum yang berlaku sekarang,  yang akan menjadi landasan yang kuat pembinaan dan pengembangan dunia olahraga Indonesia.
Sutopo dalam sesi diskusi menegaskan kembali bahwa Undang-undang sistem keolahragaan perlu diapresiasi dengan baik,  kasus penyelesaikan hukum di olahrga bisa dilakukan melalui peradilan atau secara arbitrase (diluar pengadilan) dengan membuat suatu peradilan yang khusus. Masalah yang seringkali muncul berkaitan dengan janji pemerintah pada atlet yang berprestasi menjadi tantangan tersendiri, perlu pengelolaan kehidupan atlet secara profesional, komparatif pengelolaan olahraga dengan negara asing menjadi sangat perlu seperti belajar dari Italia yang mengembangkan lex sportiva dengan menggandeng perusahaan seperti acer untuk pengembangan olahraga. Perlunya induk organisasi mempunyai struktur hukum yang mapan, perangkat pengawas yang menjatuhkan sangsi hukum bagi pelanggarnya. Hukum olahraga sangat berkembang dan di dukung dengan attitude, pemahaman atlet serta official tentang aspek hukum dalam dunia olahraga itu sendiri.
Dan Amiek Soemarmi , menegaskan kembali perlunya aturan main yang jelas yang dipahami dengan baik sehingga dapat mengatasi konflik, aturan tersebut akan menjadi equality control dalam dunia olahraga Indonesia. Perlu ada kesepakatan untuk penggunaan hukum pasti untuk menyelesaiakan perselisihan dalam olahraga dan hukum yang disepakati bersama dalam pelaksanaan pertandingan olahraga.



BAB III
PENUTUP

3.1  Simpulan
Hukum merupakan peraturan- peraturan yang diberlakukan untuk menuju tatanan hidup yang lebih baik dan teratur. Begitupun dalam olahraga yang tidak bisa lepas dari keterkaitan hukum. Hukum olahraga atau yang disebut dengan lex sportiva ini dalam perkembangannya di Indonesia sangat kurang dikaji dan diminati padahal begitu banyak permasalahan yang memerlukan penyelesaian melalui hukum, baik oleh hukum olahraga sendiri atau dengan hukum Negara. Antara hukum Negara dan olahraga memiliki batasan dan ranah- ranah tersendiri, yang sebenarnya di Indonesia ini terlalu sulit membedakan mana ranah hukum Negara dan mana ranah hukum olahraga.

3.2  Saran
Setiap permasalahan yang ada tidak akan pernah selesai kalau hanya di bahas di forum- forum, diskusi- diskusi baik itu formal maupun tidak yang hanya menghasilkan perdebatan- perdebatan tanpa ada solusi sebagai jalan keluar serta tanpa ada langkah konkret yang menindak lanjuti hasil diskusi- diskusi tersebut. Negara yang bertindak menyediakan semua fasilitas yang dibutuhkan dan berfungsi sebagai pengawas harus mengetahui batasan serta memberikan peluang, kesempatan kepada orang- orang yang ingin lebih mengkaji tentang hukum yang khusus mengenai keolahragaan. Begitu juga dengan induk- induk organisasi olahraga lebih menerapkan aturan yang lebih tegas agar terjadi keselarasan antara hukum Negara dengan hukum olahraga.



DAFTAR PUSTAKA


Panjaitan, Hinca.(2011, 14 Februari). APBD untuk Sepakbola Kewajiban Konstitusional Negara[Online].Tersedia: http://www.vikingpersib.net/index.php?topic=4102.0 [15 Oktober 2012].
Perpustakaan Online.(2011, 22 September). Hukum Olahraga[Online].Tersedia: http://www.fb.co.id/blogs/3235/309/hukum-olahraga [15 Oktober 2012].
Ramon, Tiar. (2009, 10 Mei). Macam- Macam Sistem Hukum Di Dunia[Online]. Tersedia:http://tiarramon.wordpress.com/2009/05/10/macammacam-sistem-hukum-di-dunia/ [15 Oktober 2012]
Rizki, Anugerah. (2012, Mei). Hukum Pidana dan Penggunaan Kekerasan pada Cabang Olahraga Sepak Bola[Online].Tersedia: http://anugerahrizki.blogspot.com /2012/05/ pemidanaan-terhadap-kasus-kasus.html [15 Oktober 2012].
(2010, 14 Februari). Hukum Olahraga Harus Jadi Lex Specialis[Online].Tersedia: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b77bed0a91f8/hukum-olahraga-harus-jadi-ilex-specialisi [15 Oktober 2012].
(2010, 15 April). Perlu Hukum Positif Untuk Pengembangan Keolahragaan[Online].Tersedia: http://www.undip.ac.id/index.php/arsip-berita-undip/78-latest-news/1038-perlu-hukum-positif-untuk-pengembangan-keolahragaan [15 Oktober 2012].
(2010, 12 Agustus). Penyusunan Dokumen Bidang Hukum Keolahragaan[Online]. Tersedia: http://law.ugm.ac.id/beritas/view/96 [15 Oktober 2012].
(2012, Juni). Pengertian Hukum Menurut Para Ahli[Online].Tersedia:           http://hukum-on.blogspot.com/2012/06/pengertian-hukum-menurut-para-ahli.html [15 Oktober 2012].